
Foto Dokumentasi Pasa Harau
Pada tahun 1933 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan lembah Harau sebagai satu wilayah Nature Reserve (Cagar Alam). Penetapan ini cukup lama jika dilihat sebuah prasasti milik kolonial yang ada dekat Sarasah Bunta. Sebuah prasasti bertarikh 14 Agustus 1926. Prasasti kolonial itu berisikan larangan untuk memotong kayu-kayu dan juga bunga-bunga yang ada wilayah tersebut. Di prasasti itu tertulis pula nama pejabat pada masa itu, Asisten Residen Lima Puluh Kota yang bernama J.H.G Boissevain, Tuanku Lareh Sarilamak yang bernama Rasyad Dt. Kuniang nan Hitam, serta Janaid Dt. Kodo Nan Hitam asisten Demang. Dari prasasti itu dapat dibayangkan ada semacam perayaan kecil-kecilan. Peresmian Sarasah Bunta.
Menilik prasasti itu, dapat dirasakan adanya sebentuk perhatian Pemerintah Hindia Belanda pada kawasan Harau. Tentu ada sesuatu yang menarik, yang mungkin saja penting untuk dieksplorasi. Agaknya Harau akan dijadikan satu tujuan tertentu. Perjalanan, misalnya. Perjalanan untuk pengajaran keluarga-keluarga kaya. Perjalanan untuk mengisi waktu luang, perjalanan untuk alasan kesehatan. Atau mungkin saja ekspedisi pengetahuan ilmuan-ilmuan alam. Perjalanan serupa itu di Eropa, pada pada akhir abad 19 hingga awal abad 20 disebut dengan Grand Tour. Di kemudian hari, perjalanan serupa itu tidak hanya dilakukan oleh orang kaya atau orang tertentu saja. Orang-orang biasa pun bisa melakukan perjalanan-perjalanan itu. Dalam Pariwisata di Hindia Belanda (1891-1942) Achmad Sunjayadi mensinyalir, dari sini lah munculnya istilah tourist (wisatawan), dan dalam bentuk yang lebih jamak toristen. Yang tidak lain adalah orang yang melakukan perjalanan.
Sebetulnya, Harau dengan tebing-tebing menjulang dari berbagai angle kamera, penduduk-penduduk lokal sedang berada di sawah, telah muncul dalam foto-foto fotografer-fotografer era kolonial. Salah satu fotografer ternama ketika itu, Christiaan Benjamin Nieuwenhuis. Fotografer ini banyak memotret objek-objek lanskap. Namun, selain foto-foto lanskap, Nieuwenhuis juga punya foto-foto potret. Saya menemukan sebuah situs di internet yang memperlihatkan karya-karya Nieuwenhuis. Silahkan akses http://asia-pacific-photography.com/towardindependence/Nieuwenhuis/index.htm . Tampak dalam situs tersebut foto-foto potret, dan juga lanskap yang diambil di kota-kota dan desa-desa Sumatera. Karya tersebut diperjual belikannya. Dengan begitu, terlepas dari apakah Nieuwenhuis bekerja untuk kolonial ataupun untuk dirinya sendiri, foto telah menjadi satu informasi awal untuk memperkenalkan Harau sebagai satu titik yang patut dikunjungi dalam perjalanan-perjalanan.

Foto C. B. Nieuwenhuis
Namun, dibanding dengan Jawa, dan Bali, Harau atau Sumatera Barat umumnya agaknya menjadi satu rencana kepariwisataan yang setengah hati. Atau memang mungkin tidak sama sekali. Meskipun sudah sejak Maret 1916 para stakeholder perjalanan tourist Hindia Belanda di Sumatera telah membentuk perhimpunan untuk kepentingan wisatawan. Namanya, Vereeniging Toeristenbelang op Sumatera (VTS). Agaknya Westenenk lebih mengagumi Fort De Kock dibandingkan Arau Kloof . Mungkin Harau terlalu sunyi untuk dibuat Pasar Malam. Tak ada tanda-tanda dukungan insfrastruktur wisata yang memadai. Tak ada promosi publikasi yang memikat, dan juga transportasi dan akomodasi. Tak ada tanda-tanda dukungan insfrastruktur wisata yang memadai. Tak ada promosi publikasi yang memikat, dan juga transportasi dan akomodasi.
Juga tidak berbeda di masa Orde Baru. Hanya saja statusnya saja yang berganti. Dimana Kementerian Pertanian di tahun 1979 menerbitkan keputusan baru tentang status Harau. Yaitu sebagai Taman Wisata Alam. Hingga kemudian silih bergantinya kepala daerah di Lima Puluh Kota, datang dan perginya kepala-kepala dinas, agaknya belum juga ada tanda-tanda yang berarti bahwa Harau adalah sesuatu. Meskipun Harau selalu menjadi “jualan” dengan slogan-slogan yang kadang membuat hidung masyarakat Harau acap mengembang.
Hingga 10 tahun lalu, Harau tetaplah sebuah nagari yang sunyi di Kecamatan Harau, Lima Puluh Kota. Tanpa listrik, sinyal, serta aspal. Harau tetap saja menjadi nagari yang temaram. Karena matahari begitu lama datangnya. Kehidupan selalu berputar antara belukar dan ladang-ladang. Agaknya di nagari ini, riuh gemar bersembunyi di antara tebing-tebing breksi yang meninggi. Kabut yang selalu membalut, bersama daun-daun segala yang hingar bingar hilang dilamun embun. Dan udara selalu basah oleh sarasah-sarasah. Yang memecah sunyi hanyalah Siamang Siamang yang resah karena gairah.
Pariwisata dan budaya: Harau menuju dunia
Subjudul ini tentu tidak akan membahas soal dua nomenklatur yang terus bertarik ulur tersebut. Keduanya memang selalu membingungkan. Siapa yang mengerjakan apa, dan bagaimana mengerjakannya tak pernah ada semacam roadmap atas itu.
Tahun 2016 silam, sebuah slogan “Harau Menuju Dunia” digaungkan oleh Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota. Akan tetapi, slogan ini akan dibawa dalam kerangka apa? Kebudayaan atau kepariwisataan? Seperti yang saya katakan, tidak jelas. Tapi yang jelas, melalui slogan ini, Harau yang tersembunyi dibalik kabut dan tebing-tebing terjal itu akan dibawa bertolak maju ke luar. Tetapi, pada akhirnya kita tahu bahwa slogan mentereng itu hanyalah sebuah kata. Kata tanpa rupa. Bagaimana kemudian Harau hendak dibawa keluar jika tidak disiapkan “kendaraannya”, orang yang akan mengendarainya, atau bahan bakar untuk perjalannya? Suatu mustahil yang mustahal.

Foto Dokumentasi Pasa Harau
Lain yang menggayung, lain pula yang menyambut. Pada tahun itu juga ada tamu yang berkunjung langsung ke Pemerintah Nagari Harau. Tamu ini merupakan satu komponen jaringan pertemanan Padang-Jogjakarta. Yang terdiri dari akademisi, seniman, penggerak media masyarakat, penggerak festival masyarakat, dan lain sebagainya. Jaringan ini datang membawa satu gagasan pemberdayaan masyarakat melalui kebudayaan. Masyarakat Peduli Media (MPM) berbagi pengetahuan dan praktik baik, bagaimana memanfaatkan media baru dan media sosial secara kreatif untuk membangun satu daerah. Rumah Budaya Joglo Abang berbagi pengalaman membangun organisasi kemasyarakatan yang mandiri dan merdeka. Yayasan Bintang Kidul memfasilitasi ruang pendidikan alternatif bagi anak-anak Harau. Yayasan Umar Kayam, menghubungkan anak-anak Harau dengan jaringan kebudayaan yang lebih luas.
Kunjungan ini kemudian mengkristal dalam satu gerakan bersama, Pasa Harau Art & Culture Festival. Festival ini kemudian diwujudkan dengan begitu sederhana. Berangkat dari apa yang ada, beberapa petak sawah yang gagal panen–diserang hama tikus–diatur sedemikian rupa dan dijadikan lokasi festival. Puluhan payung kaki lima disewa–payung yang biasa dipakai oleh pedagang kaki lima di pasar-pasar Payakumbuh–dipasang di beberapa titik. Instalasi-instalasi permainan-permainan anak dari bambu juga dibangun di petak sawah yang lain. Bambu-bambu yang diinstal itu, selain sebagai hiasan, juga dibayangkan sebagai mainan untuk pengunjung. Lokasi itu akan disulap menjadi pasa.
Pasa dalam bahasa Minangkabau berarti pasar. Adalah tempat bertemunya banyak orang. Tidak hanya penjual dan pembeli. Tempat melihat-lihat, keramaian, tentu saja kemeriahan. Dalam arti yang lebih luas, Harau akan dibayangkan menjadi tempat “transaksi” gagasan, ruang bertukar pengalaman dan praktik-praktik baik, serta arenanya bagi kreativitas. Di pasa inilah selama tiga hari tiga malam ragam produksi budaya dipergelarkan. Mulai dari seni tradisi, kreasi, kontemporer, hingga yang populer. Cara hidup, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Harau pun mulai dikenali kembali. Pendeknya Pasa Harau dibayangkan sebagai kendaraan yang akan ditumpangi masyarakat Harau secara sosial, budaya, ekonomis, politis, dan bahkan juga secara humanis. Mungkin ini jalan dan kendaraan yang dimaksud untuk Harau menuju dunia.

Foto Dokumentasi Pasa Harau
Lantas, apa yang berbeda dari Pasa Harau? Selama kurang lebih lima tahun ikut berproses di Harau, yang begitu kentara yang terasa bagi saya adalah cara Pasa Harau menggerakkan manusia dan kebudayaannya. Bagi saya, Pasa Harau bukanlah apa yang disaksikan di atas dan di bawah panggung ketika festival dilaksanakan. Tetapi produksi-produksi pengetahuan yang dilakukan sebelum dan sesudah festival, ini justru yang menjadi alas dan bakulnya. Pengetahuan-pengetahuan yang diproduksi itu kemudian yang bergerak maju dibawa oleh para penggeraknya ke luar Harau.
Bagi Harau sendiri, Pasa Harau mendorong munculnya tokoh-tokoh baru di dalam masyarakat. Munculnya keberanian untuk menjadi seorang legislator yang mungkin bisa menjadi corong suara bagi masyarakat Harau. Lahirnya sekolah alternatif non formal, Bintang Harau. Sekolah ini yang kemudian mengantarkan beberapa orang anak-anak Harau bersekolah di lembaga pendidikan kesenian di Sumatera Barat.
Dari segi pembangunan insfrastruktur, ada beberapa hal yang mulai tampak berubah. Anak-anak Harau tak perlu lagi memacu motornya untuk mencari sinyal jauh ke luar Harau. Karena tower telkom sudah berdiri dengan gagah. Dengan begitu, masyarakat dan tamu-tamu sudah bisa berkontak dengan sanak saudaranya dimanapun berada. Kemudian beberapa ruas jalan tak lagi berbatu dan berlumpur. Namun sudah licin beraspal. Dari Pasa Harau pula kemudian melahirkan arus-arus budaya serupa. Meskipun riaknya tidak sama. Di kota Payakumbuh muncul Botuang Festival. DI Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang, Kecamatan Luak, muncul pula Legusa Festival. Di Sungai Landia, Agam. diinisiasi pula Sabana Fest. Di Balai Gurah, Agam dirancang pula Sentak Art Fest. Di tepi danau Singkarak, Batu Taba diselenggarakan pula Galundi Singkarak.
Pasa Harau menjadi satu festival yang membedakan diri cukup signifikan dengan festival-festival lain, khususnya di Sumatera Barat. Pasa Harau tidak sektoral sepertinya kebanyak festival lain. Pasa Harau diinisiasi oleh banyak kolektif, sehingga tidak menjadi milik satu kelompok atau satu seniman tertentu saja. Program-programnya tidak berorientasi pada corak seni tertentu. Suasana yang dibangun dalam festival ini pun tidak eksklusif, dimana terkadang cenderung menutup diri dengan estetika-estetika lain. Dan yang lebih penting, tidak bergantung pada ketersediaan anggaran, baik dari pemerintah daerah, maupun pihak lain. Melainkan bergantung pada ketersedian sumber daya manusianya. Berupa kemauan dan komitmen dan sumbangan kongkret dari komunitas pendukungnya.
Lalu apa akal Safni Rito
Dua tahun sudah Saya tidak ke Harau. Corah optimisme Syukriandi, Wali Nagari Harau masih tetap saja sama seperti pertama kali gagasan Pasa Harau dibuka. “Setelah 10 tahun berproses, Pasa Harau lah yang kemudian mampu mendongkrak promosi kepariwisataan di Harau. Pasa Harau lah kemudian yang menopang perekonomian di Harau pasca ketidakberdayaan karena pandemi. Pasa Harau juga lah yang kemudian mampu merubah cara pandang masyarakat terhadap sektor pariwisata. Dan Pasa Harau jugalah kemudian yang mampu mendorong perkembangan sumber daya manusia di Harau,” tuturnya.

Foto Dokumentasi Pasa Harau
Meskipun kemudian tidak bisa pula ia nafikan hal yang timbul kemudian. Bagaimana kemudian kesiapan masyarakatnya berhadapan dengan keramaian demi keramaian. Perihal akan bergesernya mata perekonomian masyarakat ke sektor baru yang bernama pariwisata. Dan bagaimana pula kesiapan masyarakat untuk menerima segala sesuatu yang berbeda dengan mereka.
Apa yang disampaikan Wali Nagari, itu adalah sebagian kecil dari tantangan dalam dunia pariwisata yang asing ini. Sebetulnya yang menjadi tantang terbesar adalah bagaimana kemudian dihubungkan dengan persoalan kemanusiaan dimasa depan. Soal iklim dan lingkungan, inklusivitas, dan lain sebagainya. Karena itu pula beberapa tahun belakang, banyak kemudian bermunculan pandangan-pandangan kritis terhadap dunia pariwisata. Bagaimana pariwisata yang adil dan inklusif. Bagaimana pariwisata yang baik, serta bertanggung jawab atas kemanusiaan. Alih-alih meningkatkan perekonomian masyarakat, atas nama pariwisata kemudian kemanusiaan dikesampingkan.
Februari lalu, Bupati dan Wakil Bupati Lima Puluh Kota baru dilantik. Mengingat lumayan besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Lima Puluh Kota dari rertibusi Pariwisata ini, tentu bidang ini akan tetap menjadi primadona. Benar saja, menelisik Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, lagi-lagi Harau akan menjadi prioritas. Tetapi kita belum dengar kata-kata yang akan menjadi slogan. Namun, apakah pembangunan pariwisata Harau ini nantinya akan melibatkan masyarakat Harau? Baik dalam perencanaan pembangunan, atau penyusunan regulasi-regulasi yang berpihak pada kehidupan sosial, budaya, lingkungan mereka? Serta dimana kiranya peran sektor kebudayaan dalam pembangunan tersebut dibayangkan?
*Dibalik kabut dan embun merupakan frasa yang ada dalam larik puisi Iyut Fitra yang berjudul Oang Lembah. Puisi ini digubah oleh anak-anak Bintang Harau menjadi lagu yang sendu dengan judul yang sama,, Orang Lembah. Bisa diakses di https://www.youtube.com/watch?v=Q2KIrCbDAqc